Saturday, June 12, 2010

Air Doll: Have a heart was heartbreaking...



“Manusia dihukum untuk bebas.” Demikian kata Sartre. Manusia diciptakan semata untuk dihukum untuk menjadi bebas. Menjadi “ada”. Akankah kebebasan tersebut membawa kebahagiaan? Saya tidak tahu. Yang saya tahu adalah justru ketika manusia bebas, ia tidak bebas. Ada banyak manusia dengan kebebasannya masing-masing, jika masing-masing dari mereka bertemu dan saling berbenturan, dimanakah letak kebebasannya? Bukankah kebebasan malah justru malah menjadi penjara pada saat yang bersamaan? Lalu apa itu hidup bebas? Mengapa justru kebebasan menciptakan kekosongan, kesedihan, dan kesepian yang dalam? Manusia bebas sekalipun selalu dihadapkan pada kenyataan bahwa kebebasannya malah merupakan hukuman yang harus dijalani sampai akhir hidupnya. Manusia harus berhadapan dengan kehilangan, ingatan yang tidak bisa dimatikan, serta kematian.

Adalah Hirokazu Koreeda, seorang sutradara Jepang—yang menjadi salah satu tokoh retrospektif program Kinoki Juni ini—yang mengangkat dan mengeksplorasi tema-tema kematian, kehilangan, kesepian tersebut. Dalam sebuah wawancara, Koreeda menjelaskan bahwa pemilihan tema-tema tersebut keluar dari dirinya begitu saja, tanpa direncanakan. Ia berkata bahwa ia selalu tertarik dengan “keadaan ditinggalkan” dan ingatan yang tertinggal dan tak bisa dimatikan tersebut. Itu membuatnya terus bertanya dan kemudian banyak menginspirasi sebagian besar film-filmnya.

Dalam Air Doll (2009, 125 menit), Koreeda bermain dengan pertanyaan: bagaimana rasanya menjadi manusia? Apa yang dirasakan ketika manusia mempunyai hati? Bagaimana mengisi kekosongan Film ini bercerita mengenai sebuah boneka seks yang diberi nama Nozomi, yang pada suatu pagi menemukan dirinya hidup dan memiliki hati. Ia kemudian berpetualang, menjelajahi dunia manusia yang baru ditemuinya tersebut dengan kegembiraan dan kenaifan khas anak-anak, dan melihat dunia indah adanya. Ia kemudian jatuh cinta pada Junichi seorang penjaga toko persewaan film dan ia belajar banyak hal padanya. Sampai pada akhirnya Nozomi menemukan bahwa dunia tidaklah seindah yang dibayangkannya. Ternyata ada kesepian dan keterasingan yang sangat di luar sana. Dan ia merasakan kesedihan. “Have a heart was heartbreaking...”

Film dibuka dengan adegan yang menunjukkan kota dengan gedung dan lampu-lampunya pada malam hari, kemudian kamera bergerak ke kanan masuk ke dalam subway dan shot wajah Hideo memandang keluar. Dari adegan pembuka tersebut sudah bisa diraba sebenarnya, film ini akan bicara tentang apa. Kota dengan gedung tinggi serta subway, sudah cukup untuk menimbulkan perasaan berjarak dan terasing. Dan Koreeda cukup sering menampilkan shot gedung-gedung tinggi atau kota untuk semakin menegaskan keterasingan yang dialami oleh tokoh-tokohnya.

Ketika kota dihubungkan dengan “ada” dan “bebas”, ia memfasilitasi manusia yang ada di dalamnya untuk bebas melakukan apa yang mereka mau dan eksis, tapi pada saat yang bersamaan ia juga menciptakan jarak antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Bahkan kota memungkinkan manusia berjarak dengan dirinya sendiri. Ia membuat manusia terasing dari dirinya. dan pada akhirnya yang tercipta adalah kekosongan dan ketidakberdayaan.

Kehidupan urban di kota-kota besar, memang cenderung memicu perasaan terasing, depresi, dan ketidakberdayaan bagi para penghuninya. Kehidupan di kota besar seperti dalam film ini (saya mengasumsikan ini Tokyo tapi bisa jadi kota lain, meski tidak ada petunjuk pasti mengenai hal tersebut) sarat dengan kompetisi dalam hal apapun. Pekerjaan terutama. Hampir tidak ada ruang untuk sedikit menjadi lambat. Siapa lambat, ia akan tertinggal. Ditambah lagi dengan budaya dan etos kerja masyarakat Jepang yang memang dikenal sangat tinggi.

Koreeda hendak memotret kekosongan jiwa tersebut dari kacamata sebuah boneka yang hidup. Nozomi, boneka tersebut, memandang dunia dengan pandangan kanak-kanak. Semua hal yang ditemuinya adalah sebidang taman bermain, meski pada akhirnya taman bermain tersebut menyisakan kepedihan yang dalam baginya. Nozomi mengatakan dengan jujur kepada bapak tua yang ditemuinya di taman, “Saya kosong.” Ada sesuatu yang tersirat di situ. Ketika ia mengatakan bahwa ia kosong dan mendapatkan jawaban bahwa semua orang saat ini juga kosong, ia tersenyum. Berarti ia tidak sendirian. Ia punya teman. Dengan kenaifannya, ia berpikir bahwa ia bisa menemukan mereka yang kosong itu dan saling mengisi. Dalam voice over, ia mengatakan bahwa hidup hanya bisa diisi dengan kehadiran orang lain.

Ini sangat menarik. Hidup hanya bisa diisi dengan kehadiran orang lain. Kemudian jika menyimak kata-kata Sartre berikut ini: “Neraka adalah orang lain”, akan tampak sangat bertentangan. Kekosongan yang timbul dalam kehidupan manusia modern yang terepresentasi dalam film ini muncul dari relasi antar manusia yang gagal. Manusia satu menganggap manusia lainnya sebagai neraka karena setiap manusia menganggap dirinya adalah pusat kesadaran baik dari dirinya sendiri atau orang lain. Setiap kesadaran dan kebebasan hendak mempertahankan subyektivitasnya sendiri-sendiri. Itu jelas tidak mungkin karena setiap subyek akan saling berbenturan dan berebut untuk menjadi pusat dunia. Jika demikian, tidak ada yang disebut sebagai manusia bebas, subyek yang “menjadi” yang benar-benar “menjadi”.

Ketidakmampuan menjalin relasi sosial dengan manusia lain ini bisa diperlihatkan dari kecenderungan Hideo yang lebih memilih sebuah boneka sebagai teman hidupnya. Kenapa demikian? Karena boneka tidak memiliki hati, tidak menjengkelkan seperti manusia. Manusia dengan tatapan matanya (le regard) bisa menonton manusia lainnya, mengobservasinya untuk kemudian mengobyektivasinya.

Film ini ditutup dengan shot eagle eye yang memperlihatkan Nozomi tergolek di tumpukan sampah.

Terngiang kata-kata bapak tua yang dijumpai Nozomi di taman: human are so different. Pointless.. Benarkah? (ika).

- selesai -